Seberapa masuk akal klaim bahwa impor tidak diperlukan?
TKN Prabowo-Gibran mengklaim bahwa program makan siang gratis akan “menyerap produksi pangan dari petani lokal” daripada impor.
Namun, Said Abdullah, Koordinator Koalisi Rakyat Kedaulatan Pangan (KRKP), mengkhawatirkan hal-hal yang terjadi malah abangrock.com sebaliknya karena kapasitas produksi pangan Indonesia hingga saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi.
Program ini pada akhirnya akan bergantung pada impor jika produksi makanan tidak ditingkatkan.
Kita tidak bisa memenuhi kebutuhan harian dengan kondisi saat ini. Daging, ikan, dan susu kita masih diimpor. Said menyatakan, “Dalam kondisi saat ini, beras juga berat, dan untuk konsumsi normal saja morat marit.”
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), produksi beras Indonesia akan menyusut menjadi 30,89 juta ton pada tahun 2023.
Impor juga memenuhi hampir setengah dari kebutuhan daging sapi nasional sebesar 500.000 ton per tahun.
Produksi domestik hanya dapat memenuhi 20% dari kebutuhan susu segar, yang akan mencapai 4,4 juta ton pada 2022.
Untuk menutupi defisit produksi beras dalam negeri, pemerintah belakangan ini mengimpor 600.000 ton beras, yang telah menyebabkan harga beras melonjak tinggi.
Menurut Said, situasi ini menunjukkan bahwa pemerintah masih memiliki banyak masalah untuk mencapai kedaulatan pangan, sehingga program seperti ini tidak bergantung pada impor.
Untuk memenuhi kebutuhan program ini, TKN telah meminta 10.000 desa untuk menghasilkan padi.
Selain itu, 20.000 desa akan terlibat dalam pengembangan peternakan ayam pedaging dan petelur, usaha penggemukan sapi dan sapi perah, dan 2.000 desa nelayan akan terlibat dalam penyediaan ikan segar.
Lihat juga:
Harga beras telah naik ke titik “tertinggi dalam sejarah”, dan “ini sangat tidak masuk akal karena kita negara agraris.”
Dianggap “dipaksakan demi menutupi kegagalan proyek perkebunan singkong”, proyek Food Estate jagung senilai Rp54 miliar di Kalteng
Mengapa kelaparan membunuh banyak orang Yahukimo di Papua?
Said menyatakan bahwa kebijakan saat ini di Indonesia justru sebaliknya, yang berarti mewujudkannya tidak mudah dan membutuhkan waktu.
Misalnya, jumlah petani di Indonesia terus mengalami penurunan dari 31,27 juta pada 2013 menjadi 29,36 juta pada 2023.
Data menunjukkan bahwa ada peningkatan jumlah petani gurem dengan lahan kurang dari 0,5 hektare.
Produksi pertanian Indonesia masih rendah, bahkan di tengah tantangan perubahan iklim, kekeringan, dan kondisi global yang tidak stabil.Said menyatakan, “Jadi pasokan bahan bakunya memang tidak bisa dipenuhi dalam negeri tanpa diiringi dengan program peningkatan sektor pertaniannya. Tapi, saya tidak melihat program pertanian ada di dalam visi-misi mereka.”