Apa yang terjadi di Inggris ketika komunitas minoritas dan Muslim menjadi sasaran kerusuhan di banyak kota?
Di Southport, Hartlepool, Manchester, London, Aldershot, Sunderland, Liverpool, Belfast, Hull, Stoke-on-Trent, Bristol, Middlesbrough, Bolton, Rotherham, dan Weymouth, terjadi kerusuhan dan bentrok antara demonstran dan polisi.
Bagaimana kekacauan muncul?
Rentetan insiden dimulai dengan penikaman yang terjadi di Southport, di Inggris barat laut, pada 29 Juli, yang juga menyebabkan delapan anak lain luka-luka, lima di antaranya dalam kondisi kritis. Dua orang dewasa juga mengalami luka-luka.
Southport berduka. Di setiap sudut kota, banyak bunga ditanam untuk mendoakan dan mengingat para korban, terutama tiga anak perempuan yang meninggal dunia.
Ketika orang berkumpul untuk berbela sungkawa, berita di internet dengan cepat menyebar bahwa pelakunya adalah “imigran Muslim” dan bahwa pelakunya adalah “pencari suaka yang masuk ke Inggris dengan perahu.”
Namun, baru-baru ini diketahui visit here bahwa pelakunya adalah remaja bernama Axel Rudakubana, yang lahir di Cardiff dan tinggal di Desa Banks, sejauh utara Southport.
Dengan cepat menyebar, berita palsu bahwa pelaku adalah “pencari suaka Muslim yang masuk ke Inggris dengan perahu” disebarkan oleh tokoh-tokoh ekstrim kanan di media sosial.
Mereka yang tertipu oleh berita palsu berkumpul dan mengeluarkan kata-kata yang menentang Islam dan pendatang.
Ketika emosi tidak dapat ditahan, bentrok terjadi. Masjid Southport diserang, mengakibatkan lebih 50 polisi luka-luka.
Kerusuhan tersebar luas. Pada hari Minggu, 4 Agustus, sebuah hotel yang digunakan untuk menampung pencari suaka menjadi sasaran amuk di Rotherham.
Sara Khan, mantan penasihat pemerintah tentang kerukunan masyarakat, memberikan konteks dan pandangan. Khan, yang pernah bertugas sebagai komisioner anti-ekstremisme, menyatakan dalam wawancara eksklusif dengan harian The Guardian bahwa kerusuhan tidak terjadi secara tiba-tiba.
“Ini semua disebabkan oleh narasi hasutan dan kebencian terhadap imigran yang disuarakan para politisi Partai Konservatif,” kata Khan.
Sebelum kalah dalam pemilu awal Juli lalu, Partai Konservatif telah berkuasa di Inggris selama empat belas tahun.
Khan menyatakan bahwa cerita kebencian ini menumbuhkan ekstremisme di akar rumput. Orang-orang yang terhasut dengan perspektif xenopobis, yang menentang orang-orang dari negara lain, menyebarkan cerita ini secara bebas.
Salah satu politisi Konservatif terkemuka, Suella Braverman, yang pernah menjabat sebagai menteri dalam negeri, pernah menyatakan bahwa demonstrasi yang mendukung Palestina di Inggris adalah “aksi kebencian” dan bahwa “kalangan Islamis menguasai Inggris.”
Dalam situasi yang berbeda, ia menyatakan bahwa “imigrasi yang tak terkontrol sama dengan invasi”.
Sebagian besar anggota Partai Konservatif menganggap imigrasi sebagai “ancaman terhadap negara”.
Wartawan Inggris Mohamad Susilo, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, melihat kisah-kisah seperti ini terus muncul saat ekonomi Inggris merosot.Ekonomi yang tidak stabil membuat pemerintah memangkas anggaran untuk sektor-sektor yang rentan di masyarakat, dan anggaran untuk kesehatan juga dipangkas, yang mengurangi kapasitas layanan.
